Sedikitnya ada dua sudut pandang dalam menyikapi isu privilese. Pertama adalah memandang privilese sebagai penghalang dari mencapai masyarakat yang adil dan setara dalam akses terhadap peluang kehidupan. Kedua adalah memandang tatanan sosial terkait privilese sebagai sesuatu yang bisa di-hack agar seseorang bisa memanfaatkan peraturan dan persepsi yang ada untuk mengakumulasi privilese untuk dirinya sendiri.
Bodo amat dengan pendekatan sistemik, terlalu besar dan terlalu bergantung pada hal yang di luar kontrol individu. Silakan saja kalau ada yang mau tackle ini, tapi menurutku peluang berhasil kecil (walau aku bisa jadi keliru). Kalau pun berhasil, butuh waktu lama, bisa jadi lebih dari satu lifetime. Sekali pun berhasil, masih bisa di-roll back oleh perubahan masyarakat di masa depan (50, 100, 150 tahun ke depan).
Yang lebih pragmatis, praktis, taktis adalah bagaimana cara seseorang bisa mengakumulasi privilese untuk diri sendiri. Privilese ada yang unearned, ada yang earned. Seseorang bisa mengakumulasi privilese yang earned, terutama apabila ia perlu mengkompensasi ketiadaan privilese yang unearned. Karena hasil dari akumulasi bergantung pada waktu, maka lebih baik apabila proses ini bisa dimulai sedari awal mungkin, kalau bisa sejak SMA.
Benar bahwa orang-orang dengan unearned privilege menyebalkan karena mereka bisa mengakses banyak sumber daya dan terlihat banyak pencapaian, walau secara murni mungkin ga jago-jago amat.
Akan tetapi di keadaan yang membutuhkan raw skills and brainpower (in crisis/extraordinary times), they will royally screw their roles & responsibilities (but still safe personally with their safety nets) due to their lack of rigorous preparation. You will want to bet to outcompete them when the time comes, and bank your effort for those very moments sometime in the future
Dalam tahap SMA, yang paling penting diamankan adalah dua hal: fondasi dan akses. Fondasi adalah keilmuan yang hakiki. Akses adalah signalling dari keilmuan tersebut agar bisa lolos melaluii gatekeeper institusi berikutnya.
Perihal Pertama: Fondasi penting karena kamu memerlukan dasar keilmuan yang kuat di berbagai tanggung jawab di masa depan nantinya. Saat ini terlalu banyak orang bodoh dengan dasar keilmuan yang rapuh menempati posisi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Tapi terlepas dari apakah seseorang ada niatan untuk mengambil andil dalam kapasitas publik atau tidak, memperkuat fondasi individu sangat berguna bagi masyarakat karena kamu available untuk sewaktu-waktu ditugaskan/dipilih / dimandatkan untuk peran tersebut, terlebih ketika benar-benar terjadi talent shortage yang amat mendesak.
Apa saja yang perlu dipelajari untuk membuat pondasi yang kuat?
- Islam, karena belajar Islam secara terstruktur adalah privilese yang paling utama dan berguna untuk dunia dan akhirat. Terlebih apabila seseorang perlu mengemban amanah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak nantinya agar dapat memutuskan perkara berdasarkan ilmu.
- Menghafalkan Quran, kalau bisa 30 juz sebelum masuk universitas agar nanti waktunya bisa dimanfaatkan untuk pelajaran keislaman yang lebih advanced, dan juga memperlanjar ketika Quran sudah ada di dalam dada. Termasuk menghafal beberapa hadis
- Menyelesaikan bab-bab tauhid yang penting untuk segera dipelajari untuk menyelamatkan dan menjaga iman
- Menyelesaikan bab fiqih yang praktikal untuk kebutuhan sehari-hari (ibadah dan muamalah) beserta terpapar dengan dalilnya
- Bahasa arab dasar dan ilmu alat lainnya, minimal sampai level bisa dibimbing untuk membaca kitab gundul untuk mempercepat proses belajar nanti di universitas. Karena pintu gerbang dari bergunung-gunung ilmu agama, termasuk ilmu agama yang mengatur perihal duniawi hanya bisa dibuka oleh ilmu-ilmu alat ini.
- Technical, quantitative studies. Di SMA platform yang ada sudah jelas sekali: Olimpiade Sains Nasional. Pelajaran di SMA itu terlalu mudah dan sayang sekali bila hanya belajar berdasarkan kurikulum. Di masa depan pun these technical & quantitative foundations will serve you well, karena masalah di dunia ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan design thinking, networking, MBA-stuffs, corporate politics dan bla bla bla fluffy stuffs lainnya. Truly challenging problems can only be conquered by mastering the nature, not by altering perception of people. Betul “soft skill” ini perlu, but you will only need those at a hygiene level, and those you can learn in the future anyway, no need to start so early in high school. So invest your excess free time di sini dengan memilih keilmuannya:
- Matematika – notoriously hard, but very capex-light. Pencil + paper + brain and you are all set. But crazy competitors. Might want to gauge your ability first to win at international level or choose other majors
- Fisika – Like math but constrained to this universe (vs math that can be open to all possible universe), maybe also capex light
- Komputer – Practical but not so obvious in the 2009-2012-ish. Capex light. Partisipan matematika-fisika-komputer biasanya transferrable across.
- Kimia, Biologi – capex-intensive. School need proper funding to gain access to proper lab facilities for students to gain edge
- Astronomi, Kebumian, Ekonomi: no idea
Karena banyak sekali yang perlu dipelajari, maka sesesorang perlu melakukan trade-off dengan kegiatan lainnya di SMA. Ada dua jenis trade-off.
Trade-off karena hal tsb bisa dipelajari di tahap selanjutnya:
- Fancy humanities stuffs – nanti juga terpapar di universitas dengan segala macam hal yang disebut “kemahasiswaan” dan lain-lain. No point learning it now, your peers will not understand it either
- Leadership experiences – terlalu dini dan bisa mendistraksi fokus untuk mengamankan akses ke masa depan. Walau bagus secara absolut, tapi energi yang diperlukan cukup besar, terutama dari segi opportunity cost. Lagipula pengalaman nanti di dunia kerja akan lebih nyata (walau perlu dimulai sejak universitas karena seperti itu maunya para gatekeeper di dunia kerja as an early proof of “success”).
- Finance//management stuffs – no, you are not a kid with a trust fund that will work at dad’s private equity//hedge fund firm. Save it for later, 3rd//4th year of uni, as needed
Trade-off karena hal tsb nilai lifetimenya rendah:
- Ekstrakurikuler olahraga, karena nanti pun siapa yang masih main basket//silat/dsb setelah kuliah? No point in investing time in sunset activities
- Kesenian – ngapain? What’s cool now will not be as cool later, scrap that. Yes I am super biased.
Apa dengan semua pelajaran ini akan membuat kebahagiaan seseorang di SMA terancam? Ga juga, karena belajar semua hal itu ga akan menghabiskan 24 jam sehari. Mungkin bisa 12+ jam sehari kalau sedang akan ada kompetisi//ujian tertentu, tapi itu hanya terbatas 2-4 minggu menjelang event tersebut. Pada rutinitas sehari-hari paling cuma terbatas 1-3 jam sehari, itu pun ga selalu tiap hari karena perlu di-pace out dengan baik agar jadi marathon yang sustainable, bukan sprint lalu burn out dan tidak semangat lagi. Otomatis masih banyak sekali waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk bersosialisasi, menikmati SMA sebagaimana umumnya.
Perihal Kedua: Akses penting untuk membuktikan kepada gatekeeper institusi berikutnya (universitas, employer, grad school, patron, etc.) that you got what it takes. All those fondations need to be fleshed out materially with concrete credibility. Usual stuffs:
- Ranking berapa secara paralel di SMA
- Medali OSN/international olympiads
- Lomba-lomba akademik/intelektual lainnya
Secara historis if you do great in olympiads, usually there are offers for universities abroad (NUS//NTU, Ivy League, etc.). Biasanya anak-anak olimpiade tetap prefer universitas dalam negeri (UI (terutama FK UI), ITB), tapi karena aturan bodoh di SMA atau univ yang mereka tuju membuat partisipasi olimpiade menjadi liabilitas alih-alih aset, karena nilai di mata pelajaran lainnya tidak terurus, sering absen kelas, dsb, ada beberapa kasus mereka ditolak. Bagi yang punya “cadangan” di luar negeri, barulah mereka pergi ke luar negeri.
Ranking paralel dan lomba-lomba lainnya sepertinya cuma berlaku untuk masuk univ dalam negeri saja.
Karena signalling yang dianggap gatekeeper universitas hanya hal-hal tersebut, there is no need to over-index on leadership/organizational experiences and other unrelated extracurricular activities. However note that gatekeepers at employers might care about that, so will need to take care of this at later stage.
End-game:
Stupid and incompetent elites and oligarchs will make life hard for everyone. They were born from dysfunctional politics, backward educational priorities, the need to cater to suboptimal set of winning coalitition (re: Selectorate Theory – The Logic of Political Survival – Bruce Bueno de Mesquita), misaligned wealth defense priorities (re: Oligarchy – Jeffrey Winters), and numerous other structural factors. These buffoons will thrive in situation where there are no real threats (only made-up ones to maintain control over the populace). When we have real existential threats that can wipe out entire nation-state (e.g. war, etc.), they will fail spectacularly. Entire cohort of people need to replace them progressively by obtaining fundamental knowledge and skills while simultaneously work they way up the existing ladder by signalling the right set of things to gatekeepers to earn their position while also ensuring their own survival along the way.
Caveats//Reversals//Hard trade-offs:
Skenario ini akan dijalankan tidak dalam keadaan vakum dari realitas.
- Local vs abroad universities:
- Akses dan proximity ke pelajaran Islam bisa jadi terhambat karena advanced countries are not exactly aligned for this and you are still young at this stage
- Funding: fasilitas scholarship might be available but limited for undergraduate (either Indonesia govt or university may provide it) and can come with strings attached (esp. if uni provided)
- Akses ke alumni network of local uni – don’t know how relevant/impactful is this and whether a foreign grad can somehow squeeze in easily into this if required
- Technical & quantitative field: Bisa jadi terlalu advanced untuk level industrialisasi Indonesia and you might find yourself onverqualified and undercompensated for the relevant role. Might want to accumulate optionality in other field to ensure cost of living while devising your grand strategy
Next: Roadmap Akumulasi Privilese: Universitas